10 March 2009

SISILAH RAJA BIMA - Oleh : Mukhtar, A.Pi, M.Si


Gambar 1. Istana / Asi Sultan Bima Yang Lama

Dalam sejarah Bima disebutkan bahwa kerajaan Bima dahulu terpecah –pecah dalam kelompok-kelompok kecil yang masing-masing dipimpin oleh Ncuhi. Ada lima Ncuhi yang menguasai lima wilayah yaitu :
1. Ncuhi Dara, memegang kekuasaan wilayah Bima Tengah
2. Ncuhi Parewa, memegang kekuasaan wilayah Bima Selatan
3. Ncuhi Padolo, memegang kekuasaan wilayah Bima Barat
4. Ncuhi Banggapupa, memegang kekuasaan wilayah Bima Utara
5. Ncuhi Dorowani, memegang kekuasaan wilayah Bima Timur.

Kelima Ncuhi ini hidup berdampingan secara damai, saling hormat menghormati dan selalu mengadakan musyawarah mufakat bila ada sesuatu yang menyangkut kepentingan bersama. Dari kelima Ncuhi tersebut, yang bertindak selaku pemimpin dari Ncuhi lainnya adalah Ncuhi Dara.

Pada masa-masa berikutnya, para Ncuhi ini dipersatukan oleh seorang utusan yang berasal dari Jawa. Menurut legenda yang dipercaya secara turun temurun oleh masyarakat Bima. Cikal bakal Kerajaan Bima adalah Maharaja Pandu Dewata yang mempunyai 5 orang putra yaitu : (1) Darmawangsa (2) Sang Bima (3) Sang Arjuna (4) Sang Kula (5) Sang Dewa. Salah seorang dari lima bersaudara ini yakni Sang Bima berlayar ke arah timur dan mendarat disebuah pulau kecil disebelah utara Kecamatan Sanggar yang bernama Satonda.
Sang Bima inilah yang mempersatukan kelima Ncuhi dalam satu kerajaan yakni Kerajaan Bima, dan Sang Bima sebagai raja pertama bergelar Sangaji. Sejak saat itulah Bima menjadi sebuah kerajaan yang berdasarkan Hadat, dan saat itu pulalah Hadat Kerajaan Bima ditetapkan berlaku bagi seluruh rakyat tanpa kecuali. Hadat ini berlaku terus menerus dan mengalami perubahan pada masa pemerintahan raja Mawa’a Bilmana.

Setelah menanamkan sendi-sendi dasar pemerintahan berdasarkan Hadat, Sang Bima meninggalkan Kerajaan Bima menuju timur, tahta kerajaan selanjutnya diserahkan kepada Ncuhi Dara hingga putra Sang Bima yang bernama Indra Zamrud sebagai pewaris tahta datang kembali ke Bima pada abad XIV/ XV. Raja Bima pertama yang dikenal dengan dewa yang terbit dari dalam potu (bambu Petung) digelar Maharaja Indra Zamrut.

Dewa Indra Zamrut mempunyai dua orang anak laki-laki dan satu orang anak perempuan. Salah satu anaknya diangkat menjadi Raja Bima dengan gelar Batara Bima. Batara Bima mempunyai lima orang anak yaitu anak laki-laki pertama diangkat menjadi raja ditanah Dompu, anak laki-laki kedua diangkat menjadi raja ditanah Bolo, anak laki-laki ketiga karena tiada lagi negeri tempat naik kerajaan, beliau berkedudukan di waki, ialah pemegang tempat keramat yaitu Parafu Kini dan Parafu Kalingi dan Uma Kimbi (rumah tempat roh) dan Uma Rafu (rumah tempat pemujaan). Anak laki-laki keempat diangkat menjadi Raja di Tanah Bima dengan gelar dan kedudukan Bata Parapanti sedangkan anak perempaun kelima dibuat bini oleh saudarannya.

Dewa Bata Parapati mempunyai empat orang anak yaitu dua orang laki-laki dan dua orang perempuan. Anak pertama laki-laki berkedudukan pada Asi Kalende, memang Bicara dalam tanah Bima. Sedangkan yang naik menjadi Raja Bima anak ketiga laki-laki yang digelar Dewa yang pergi ke Majapahit, yang berkedudukan dalam Bata Ncandi.

Dewa dalam Bata Candi mempunyai anak empat orang, salah satu anak laki-laki pertamanya diangkat menjadi raja Bima digelarkan Nggampo Jawa berkedudukan dalam Bata Baharu. Isteri Dewa Nggampo Jawa adalah saudaranya sendiri yang menetukan dan mendirikan segala Jeneli (Gubenur), tureli (Menteri), bumi (Perwakilan Daerah) Jena (wakil bumi), Nentirasa (kepala Dusun) dan patarasa (Kepala Dusun). Raja Nggampo Jawa tidak mempunyai anak, setelah meninggal, isterinya menikah lagi dengan Dewa Yang Nyata Saruhu. Dewa Yang Nyata Saruhu inilah mengantikan Raja Ngampo Jawa sebagai Raja Bima.

Dewa Yang Nyata Saruhu hanya mempunyai seorang anak laki-laki. Putra Mahkota inilah yang diangkat mengantikan Raja menjadi Raja Bima yang mempunyai gelar Dewa Dalam Bata Lambu. Dewa Dalam Bata Lambu mempunyai anak dua orang salah satunya diangkat menjadi Raja Bima dengan Gelar Dewa Dalam Bata Bou. Dewa Dalam Bata Bou mempunyai dua puluh orang anak laki-laki dan sepuluh anak perempuan. Keempat anak laki-laki Dewa Dalam Mata Bou diangkat menjadi Raja di Tanah Bima secara bergilir. Dewa Dalam Bata Bou digantikan oleh anak yang ketiga puluh dengan gelar Mawa’a Paju Longge, Mawa’a Paju Longge digantikan oleh kakaknya dengan gelar Mawa’a Inda Mbojo, Mawa’a Inda Mbojo digantikan oleh Kakaknya dengan gelar Mawa’a Bilmana dan Mawa’a Bilmana digantikan oleh kakanya lagi dengan gelar Manggampo Donggo.


Gambar 2. Pintu Gerbang Istana


Manggampo Donggo digantikan oleh anak pertama bernama Mambora Ba Pili Tuta naik menjadi Raja Bima. Kemudian Anaknya kedua menjadi Raja dengan gelar Mawa’a Ndapa mengantikan Mambora Ba Pili Tuta. Mawa’a Ndapa digantikan oleh keponakannya anak Mawa’a Taho Sangaji Dompu dengan gelar Mawa’a La Laba.

Mawa’a La Ba digantikan oleh sepupunya yaitu cucu daripada anak laki-laki Dewa yang duduk di Karumbu, naik menjadi raja dengan gelar Mantau La Sadina dan gelar juga Rumata Mawa’a Bilanga. Mantau La Sadina digantikan lagi oleh sepupunya cucu daripada anak laki-laki Manggampo Donggo yaitu anaknya Mambora Ba Pili Tuta yang bernama Mambora Aka Sapaga naik menjadi raja. Setelah digantikan lagi sama anaknya yang bernama Mambora dalam Asi Bata Lambu.

Mambora dalam Asi Bata Lambu digantikan oleh paman sepupu Mambora Aka Sapaga anak dari Mawa’a Ndapa yang bergelar Rumata Samara. Rumata Samara digantikan oleh adiknya yang bergelar Salisi. Salisi digantikan oleh anaknya bergelar Rumata Mantau La Limandaru. Rumata Mantau La Limandaru digantikan oleh pamannya dengan gelar Rumata Mantau Asi Sawo. Rumata Mantau Asi Sawo digantikan oleh adiknya dengan gelar Rumata manuru Salisi.

Pada masa tahta Raja Rumata manuru Salisi mulai di kenal agama Islam. Kerajaan Bima pada waktu itu sekitar tahun 1618-1619 diIslamkan oleh Sultan Goa dari Makassar. Rumata manuru Salisi digantikan oleh keponakannya anak dari Rumata Mantau Asi Sawo bernama Al-Sultan Abdul Kahir al-Marhum dengan gelar Rumata Mantau Bata Wadu pada tanggal 5 Juli tahun 1640 M. Pada massa Rumata Mantau Bata Wadu peralihan dari model Kerjaan menjadi Kesultanan setelah Bima dikalahkan dua kali oleh armada Makassar pada tahun 1618-1619, Dengan kekalahan ini Bima berkewajiban membayar upeti setiap tahunnya, Raja Bima pertama kali masuk Islam pada tanggal 7 Februari 1621 dia digelarkan Sultan Abdul Kahir al-Marhum. Sultan Abdul Kahir al-Marhum dididik agama Islam oleh dua orang mubalik dari Sumatra, yaitu Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro. Sultan Abdul Kahir al-Marhum disuruh oleh Sultan Goa Alauddin untuk memperisteri iparnya Daeng Sikontu, Putri Karaeng Kasuarang pada tahun 1625. Dari pernikahan ini melahirkan empat oran anak yaitu yang diberi gelar Rumata Mantau Bata, Rumata Mantau Uma Jati (Abi’l-Kahair Sirajuddin), Rumata Paruwa dan Rumata Mambora di Kenari.

Gambar 3. Istana / Asi Sultan Bima Sekarang


Pada masa kesultanan Abdul Kahir al-Marhum sebagian besar masyarakt Bima tidak menyetujui aliansi raja dengan Makassar, maka pada tahun 1632 masyarakat Bima memberontak dengan bantuan Raja Dompu. Sultan Abdul Kahir al-Marhum digulingkan oleh rakyatnya dan dibuang ke Pulau Gunung Api. Raja Makassar sangat marah dan memerintahkan armadanya menghancurkan masyarakat Bima untuk memulihkan tahta iparnya Sultan Abdul Kahir al-Marhum pada Tahun 1633.

Sultan Abdul Kahir al-Marhum meninggal pada tahun 1640 dan digantikan naik takhta kerajaan oleh anaknya Abi’l-Kahair Sirajuddin dengan gelar Rumata Mantau Uma Jati. Pada waktu diangkat sebagai Sultan, Abi’l-Kahair Sirajuddin baru berumur 11 Tahun, sehingga pasti tidak bias memerintah langsung tetapi diwakili oleh Raja Bicara. Sultan Abi’l-Kahair Sirajuddin menikah dengan Karaeng Bonto Je'ne. Karaeng Bonto Je'ne adik kandung Sultan Hasanuddin, Gowa pada tanggal 13 April 1646. Dari pernikahan ini melahirkan delapan orang anak diberi gelar Rumata Paduka Dompu, Rumata Mawa’a Paju (Nuruddin Abu Bakar Ali Syah), Rumata Bonto Raja, Rumata Paduka Talo, Rumata panaraga, Rumata Makanae Daeng Taliba, Mambora Awa Taloko dan Mambora Awa Moyo. Sultan Abi’l-Kahair Sirajuddin memerintah selama 42 Tahun.

Sultan Abi’l-Kahair Sirajuddin meninggal pada tahun 1682 dan digantikan naik takhta kerajaan oleh anaknya Nuruddin Abu Bakar Ali Syah dengan Gelar Rumata Mawa’a Paju. Sultan Nuruddin Abu Bakar Ali Syah menikah dengan Daeng Ta Memang anaknya Raja Tallo pada tanggal 7 Mei 1684. Dari pernikahan tersebut melahirkan dua orang anak diberi gelar Rumata Sangaji Bolo dan Rumata Mawa’a Romo (Jamaluddin ‘Inayat Syah). Sultan Nuruddin Abu Bakar Ali Syah hanya memerintah selama lima tahun oleh karena meninggal pada usia 36 tahun.

Gambar 4. Mahkota Sultan Bima


Sultan Nuruddin Abu Bakar Ali Syah meninggal pada tahun 1687 dan digantikan naik takhta kerajaan oleh anaknya Jamaluddin ‘Inayat Syah dengan Gelar Rumata Mawa’a Romo. Sultan Jamaluddin ‘Inayat Syah menikah dengan Fatimah Karaeng Tanatana yang merupakan putri Karaeng Bessei pada tanggal 8 Agustus 1693. Dari pernikan tersebut melahirkan lima orang anak diberi gelar Rumata Mantau Bata Boa (Hasanuddin Muhammad Ali Syah), Rumata Mambora di Oi Banti, Rumata Ina Bawa, Rumata Jeneli Sape mambora di Akuwu dan Anak Lamo Membuat Asi Reyo. Sultan Jamaluddin ‘Inayat Syah waktu diangkat baru berumur 14 tahun sehingga pemerintahan dijalankan oleh raja bicara Tureli Donggo. Waktu Sultan Jamaluddin ‘Inayat Syah berumur 20 Tahun dituduh oleh Raja Dompu membunuh isterinya, Daeng Mami. Isteri Raja Dompu adalah bibi dari Sultan Jamaluddin ‘Inayat Syah. Atas tuduhan tersebut majelis yang terdiri atas wakil kompeni (Presiden Prins) dan wakil dari dua puluh satu kerajaan sekutu kompeni memutuskan Sultan Jamaluddin ‘Inayat Syah bersalah dan patut dihukum. Pada tahun 1695 Sultan Jamaluddin ‘Inayat Syah dibuang Batavia dan setahun kemuadian Sultan meninggal disana.

Sultan Jamaluddin ‘Inayat Syah meninggal pada tahun 1696 dan digantikan naik takhta kerajaan oleh anaknya Hasanuddin Muhammad Ali Syah dengan Gelar Rumata Mantau Bata Boa yang baru berumur 7 Tahun. Sultan Hasanuddin Muhammad Ali Syah menikah dengan Karaeng Bissa Mpole anaknya Karaeng Parang Bone dengan Karaeng Bonto Mate'ne, pada tanggal 12 September 1704. Dari pernikahan ini melahirkan enam orang anak diberi gelar Rumata Manuru Daha, Rumata Paduka Talo, Rumata Mambora Ipa Bali, Bumi Ruma Kae, Lomo Isa dan La Muni.

Sultan Hasanuddin Muhammad Ali Syah memerintah selama 35 tahun dan meninggal pada tahun 1731 dan digantikan naik takhta kerajaan oleh anaknya Alauddin Muhammad Syah Zillullah Fi Al-alam digelarkan Rumata Manuru Daha. Sultan Alauddin Muhammad Syah Zillullah Fi Al-alam menikah dengan Karaeng Tana Sanga Mamonca Raji putrinya sultan Gowa yaitu Sultan Sirajuddin pada tahun 1727. Mas Kawin pernikahan itu tanah Manggarai. Dari pernikahan ini melahirkan empat orang anak yaitu Rumata Sultan Kamalat Syah, Rumata Paduka Goa, Rumata amawa’a Taho (Sultan Abdul Kadim) dan La halima.

Sultan Alauddin Muhammad Syah Zillullah Fi Al-alam meninggal pada tahun 1748 digantikan oleh anak perempuannya Rumata Sultan Kamalat Syah dengan gelar Rumata Ma Kalosa Weki Ndai karena putra mahkota Abdul Kadim Muhammad Syah dengan gelar Rumata amawa’a Taho baru berumur 13 Tahun. Sultan Kamalat Syah menikah dengan Sultan Harun Al-Rasyid dengan gelar`Karaeng Kanjilo dari Goa Tallo, dari pernikahan ini lahir raja Sepanang.

Gambar 5. Sampari / Keris Sultan Bima


Sultan Kamalat Syah hanya memerintah selama tiga tahun karena Belanda tidak menyetujui perkawinannya dengan Karaeng Kanjilo, sehingga dia dipaksa turun takhta pada tahun 1751, dan digantikan oleh adiknya Abdul Kadim Muhammad Syah. Sultan Abdul Kadim Muhammad Syah mempunyai dua orang isteri. Dari Isteri pertama melahirkan empat orang anak bernama Raja Jene Teke, Abdul Hamid Muhammad Syah, La Minda Ratu Perempuan dan Daeng Matayang. Dari Isteri kedua hanya satu orang anak bernama La Mangga nama kecil nama dewasanya Daeng Pabeta dengan gelar Jeneli Bolo.

Sultan Abdul Kadim Muhammad Syah meninggal pada tahun 1773 digantikan naik takhta kerajaan oleh anaknya Abdul Hamid Muhammad Syah. Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah dengan gelar Rumata Mantau Asi Saninu mempunyai dua orang anak yaitu Ismail Muhammad Syah dari pernikahannya dengan putri sultan Sumbawa pada tahun 1792 dan Bumi Kaka, anak dengan gundiknya bernama Jamila. Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah diangkat menjadi Sultan umur 11 tahun maka Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah mengangkat Tureli Donggo Abdul Nabi sebagai raja bicara. Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah memerintah tidak kurang 44 tahun mulai tahun 1773 s/d 1817. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah ini terjadi malapetaka besar di pulau Sumbawa pada bulan April 1815 Gunung Tambora meletus.

Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah meninggal pada tahun 1817 digantikan naik takhta kerajaan pada tahun 1819 oleh anaknya Ismail Muhammad Syah dengan gelar Rumata Mawa’a Alus. Sultan Ismail Muhammad Syah memerintah selama 37 Tahun, tapi Sultan Ismail Muhammad Syah tidak berwatak pemimpin sehingga urusan banpemerintahan dibawah kendali raja bicara Abdul Nabi dan Muhammad Yakup. Sultan Ismail Muhammad Syah mempunyai anak Abdullah Muhammad Syah.

Sultan Ismail Muhammad Syah meninggal pada tahun 1854 dan digantikan naik takhta kerajaan oleh anaknya Abdullah Muhammad Syah dengan gelar Rumata Mawa’a Adil. Sultan Abdullah Muhammad Syah menikah dengan Sitti Saleha Bumi Pertiga, putrinya Tureli Belo. Dari pernikahan ini lahir Abdul Aziz Muhammad Syah dan Ibrahim ibn al-Sultan Abdullah. Sultan Abdullah Muhammad Syah ketika diangkat baru berumur 10 tahun maka roda pemerintahan dilaksanakan oleh raja bicara.

Sultan Abdullah Muhammad Syah meninggal tahun 1868 dan digantikan naik takhta kerajaan oleh anaknya Abdul Aziz Muhammad Syah dengan gelar Rumata Mawa’a Sampela.

Sultan Abdul Aziz Muhammad Syah digantikan naik takhta kerajaan oleh saudarannya Ibrahim ibn al-Sultan Abdullah dengan gelar Rumata Mawa’a Taho Perange. Sultan Ibrahim mempunyai seorang anak bernama Muhammmad Salahudiin.

Sultan Ibrahim ibn al-Sultan Abdullah digantikan naik takhta kerajaan oleh anaknya Muhammmad Salahudiin pada tahun 1888 dengan gelar Ma Kadidi Agama. Sultan Muhammmad Salahudiin dan memimpin kesultanan hingga tahun 1917. Sultan Muhammmad Salahudiin mempunyai dua orang anak Abdul Kahir II (Ama Ka'u Kahi) yang biasa dipanggil dengan Putra Kahi dan St Maryam Rahman (Ina Ka'u Mari). Masa pemerintahan Sultan Muhammmad Salahudiin adalah masa pemerintahan terakhir kesultanan Bima karena setelah itu tidak ada lagi diangkat sultan.

Gambar 6. Sultan Muhammmad Salahudiin


Sultan Muhammmad Salahudiin meninggal seharusnya putra mahkota Abdul Kahir II (Ama Ka'u Kahi) yang naik takhta. Putra Kahir menikah dengan Putri dari Keturunan Raja Banten (Saudari Kandung Bapak Ekky Syachruddin) dan dari pernikahannya melahirkan Bapak Ferry Zulkarnain, ST yang memimpin sebagai Bupati Kabupaten Bima mulai tahun 2004 sampai sekarang.

Gambar 7. Bapak Ferry Zulkarnain, ST


Pustaka : Bo’ Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima Oleh Henri Chambert Loir dan Siti Maryam R. Salahuddin Terbitan Ecole francaise d’Extreme-Orient Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 1999. dan Artikel dari www.bimakab.go.id

(Penulis : Mukhtar, A.Pi, M.Si, Putra Kampung Bara Kel. Paruga Kec. Rasanae Bima, Saat sekarang bekerja di Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kendari)
Email : mukhtar_api@yahoo.co.id Blog : http://mukhtar-api.blogspot.com


Bima-Indonesia file